Di tengah kegaduhan situasi politik Indonesia yang tak menentu, tiba-tiba mencuat kasus seputar Ahmadiyah. Bentrokan kembali terjadi antara warga dengan jemaat Ahmadiyah. Kali ini terjadi di Pandeglang, Banten. Yang mengakibatkan 3 orang tewas dan 5 orang luka parah. Masalah ini sudah muncul sejak tahun 2008.
Patut disayangkan kenapa bentrokan ini bisa terjadi. Padahal sejatinya hal ini bisa dihindarkan bilamana pemerintah mau bertindak tegas terhadap Ahmadiyah. Terjadinya kasus Ciekusik karena kedua belah pihak yang bertikai tidak bisa menahan diri sehingga berujung pada aksi kekerasan. Kedua pihak yang bertikai seharusnya mentaati apa yang telah ditetapkan berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) tiga Menteri serta tidak main hakim sendiri.
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Ahmadiyah merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan. Hal ini pun sudah ditegaskan oleh MUI. Begitu pula dengan hasil keputusan Bakorpakem Indonesia serta Majma’Al-Fiqh Al-Islami OKI.
Di beberapa Negara lain, Ahmadiyah telah dinyatakan keluar dari Islam. Pemerintah Malaysia misalnya telah melarang ajaran Qadiani dan dianggap kafir sejak tanggal 18 Juni 1975. Kerajaan Brunei juga telah melarang ajaran Ahmadiyah berkembang di negara Brunei Darussalam. Kerajaan Arab Saudi menyatakan bahwa Ahmadiyah kafir dan tidak boleh memasuki tanah haram. Sedangkan di Pakistan telah dinyatakan bahwa Ahmadiyah adalah termasuk kelompok minoritas non-muslim, sama kedudukannya dengan agama Nasrani, Sikh, dll.
Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) menyatakan aliran Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam dan harus dihentikan. Karena dalam pemantauan selama 3 bulan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terbukti tidak melaksanakan secara konsisten 12 butir penjelasan pokok-pokok ajaran yang disampaikan kepada publik. Bakor Pakem memperingatkan agar warga JAI untuk menghentikan perbuatannya,
Kami hanya ingin mengingatkan kepada beberapa pihak yang mengaitkan Ahmadiyah dengan kebebasan beragama. Perlu juga diketahui bersama, bahwa Ahmadiyah bukanlah tentang kebebasan beragama, melainkan sebuah bentuk penodaan Agama. Mereka mengakui sebagai agama Islam namun ajarannya telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam. Semisal: Meyakini ada nabi sesudah Muhammad SAW. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Nabi kemudian diyakini oleh pengikutnya. Padahal sesuai dengan prinsip akidah Islam bahwa jelas tidak ada nabi maupun Rasul setelah Muhammad Saw, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW: “Tidak ada nabi sesudahku”. (HR. Bukhari).
Kasus ini merusak nama baik Indonesia yang dipercaya sebagai negara yang mengedepankan keberagaman di mata dunia internasional. Ahmadiyah sebenarnya menjadi masalah karena ajaran ini mengatasnamakan Islam tetapi tidak sesuai dengan agama Islam. Seandainya Ahmadiyah menjadi agama sendiri, maka Ahmadiyah itu dalam posisi menjalani hak sebagai warga negara dalam beragama. Penodaan agama itu berbeda dengan kebebasan beragama. Ini kadang orang tidak bisa membedakan.
SKB yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juni 2008 itu intinya berisi peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Namun kenyataannya pelaksanaan SKB dilapangan masih kedodoran.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana PASAL 56 a berbunyi : “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.”
Negara tidak boleh melakukan pembiaran terhadap berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan kelompok agama terhadap kelompok tertentu dan harus tegas dalam menegakan aturan hukum, sudah semestinya pemerintah supaya menindak tegas Ahmadiyah untuk melindungi akidah rakyatnya dengan cara membubarkan organisasi tersebut, kemudian pemeluknya diminta untuk kembali ke jalan yang benar. Atau Ahmadiyah di tetapkan sebagai pihak non-Islam.
Untuk menghindari terjadinya kekacauan yang tidak diinginkan lagi, kunci penyelesaian kasus penyerangan Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten adalah penegakan hukum yang tegas bagi pihak yang terbukti bersalah. Dan mengusut tuntas permasalahan ini agar tidak berlarut-larut. jika tidak dilakukan pengusutan dan penegakan hukum bagi pihak yang bersalah akan memberikan peluang kepada kelompok lain untuk melakukan kekerasan serupa karena terkesan hal seperti itu dibiarkan saja terjadi tanpa ada tindakan .