Abu Ayub Al Anshari: Pejuang di Waktu Senang Maupun Susah


Rasulullah memasuki kota Madinah, dengan demikian berakhirlah perjalanan hijrah. Dengan mengendarai unta, Rasulullah berjalan di tengah-tengah barisan manusia yang penuh sesak, dengan luapan semangat dari kalbu yang penuh cinta dan rindu, berdesak-desakkan berebut memegang kekang unta Rasul, karena setiap orang menginginkan untuk menerima Rasul sebagai tamu mereka.

Mula-mula sampailah Rasul di perkampungan Bani Salim bin Auf, mereka dengan penuh semangat menyambut Rasul dan berkata, "Wahai Rasulullah, tinggallah bersama kami, bilangan kami banyak, persediaan cukup, serta keamanan terjamin!"
Rasulullah menjawab dengan lembut, "Biarkanlah, jangan halangi jalan unta ini, karena ia hanyalah melaksanakan perintah!"
Sang Unta terus saja berjalan, terus melewati berbagai perkampungan. Melewati Bani Bayadhah, kemudian melalui kampung Bani Sa'idah, selanjutnya melewati kampung Bani Harits ibnul Khazraj, kemudian sampailah di perkampungan Bani 'Adi bin Najjar.
Setiap suku mencoba untuk meminta Rasul agar singgah di kampung mereka. Sebuah kebahagiian bagi mereka jika Rasul dapat singgal di rumah-rumah mereka. Dalam setiap tawaran itu, Rasul selalu menjawab sambil tersenyum syukur yang tampak dibibirnya, "Lapangkan jalan unta ini, karena ia hanyalah melaksanakan perintah!"
Rasul telah menyerahkan segalanya kepada Allah, termasuk di mana unta akan berhenti. Karenanya, Rasul membiarkan tali unta terlepas bebas, tidak ditepuknya unta tersebut, tidak pula dihentikan langkahnya. Rasul hanya berucap doa, "Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku, pilihkanlah untukku!"


Di halaman depan rumah Bani Malik bin Najjar unta itu bersimpuh kemudian bangkit dan berkeliling di tempat itu, lalu kembali ke tempat bersimpuh tadi dan kembali bersimpuh, dan akhirnya unta tersebut tidak beranjak dari tempatnya. Maka turunlah Rasul dari atas unta dengan penuh harapan dan kegembiraan.
Salah seorang muslim tampil dengan wajah berseri-seri karena suka cinta. Ia menemui Rasul kemudian membawa barang bawaan Rasul ke dalam rumahnya serta mempersilakan Rasul masuk. Rasul pun mengikutinya.
Nah, siapakah seorang muslim berbahagia tersebut, yang telah Allah pilihkan tempatnya sehingga unta Rasul bersimpuh, hingga Rasul menjadi tamunya, dan semua penduduk Madinah menginginkan hal yang sama?
Beliau adalah Abu Ayub Al Anshari, cucu dari Malik bin Najjar.
Kita mungkin sering mendengar kisah "unta Rasul" saat memasuki Madinah, tapi mungkin kita belum tahu, di mana tepatnya unta Rasul singgah dan di rumah siapakah pertama kali Rasul tinggal saat di Madinah ...
Pertemuan Abu Ayub Al Anshari dengan Rasul itu bukanlah pertemuan pertama. Sebelumnya, Abu Ayub Al Anshari bertemu Rasul dalam Baiat Aqabah kedua. Abu Ayub Al Anshari termasuk dalam 70 orang mu'min yang berbaiat kepada Rasulullah.
Di dalam rumah Abu Ayub Al Anshari, Rasul memilih untuk menempati ruangan di lantai pertama. Tetapi ketika Abu Ayub Al Anshari naik ke kamarnya di lantai atas, Abu Ayub Al Anshari gemetar, ia tak kuasa membayangkan dirinya akan tidur atau berdiri di suatu tempat yang lebih tinggi dari tempat berdiri dan tempat tidur Rasulullah. Ia kemudian mendesak Rasul dan berharap agar Rasul pindah ke lantai atas. Akhirnya Rasul pun memperkenankannya.

Rasul singgah di rumah Abu Ayub Al Anshari sampai selesai pembangunan masjid dan pembangunan bilik di samping masjid.
Abu Ayub Al Anshari selalu ikut berjihad bersama Rasul, dari perang Badar, Uhud, sampai Khandaq. Bahkan sesudah Rasul wafat pun tak pernah beliau ketinggalan menyertai pertempuran yang diwajibkan atas kaum muslimin sekalipun jarak yang sangat jauh dan beban berat yang ditanggung.
Sebuah semboyan yang selalu melekat dalam hati Abu Ayub Al Anshari, sebuah semboyan yang selalu diulang-ulang, baik malam maupun siang, adalah firman Allah SWT surat At Taubah ayat 41, "Berjuanglah kalian, baik dalam keadaan ringan maupun berat ..."
Pernah satu kali Abu Ayub tidak menyertai bala tentara Islam karena beliau tidak puas dengan kepemimpinan seorang komandan perang. Hanya sekali saja, tidak lebih! Sekalipun demikian, bukan main menyesalnya atas sikap beliau saat itu. Beliau pun berkata, "Tidak jadi soal lagi bagiku siapa orang yang akan menjadi atasanku!"

Waktu terus berjalan, akhirnya menyampaikan beliau kepada penyerangan Konstantinopel. Beliau terus maju mencari syahid yang sudah lama didambakannya dan dirindukannya.
Dalam pertempuran ini Abu Ayub Al Anshari mendapat luka berat. Ditengah nafas yang semakin sesak, sesaat lagi menemui Allah SWT, panglima pasukan saat itu Yazib bin Muawiyah bertanya kepada beliau, "Wahai Abu Ayub, apa keinginan Anda?"
Ternyata ikhwah fillah sekalian, keinginan Abu Ayub Al Anshari adalah, bila beliau meninggal, beliau berharap agar jasad beliau dibawa dengan kudanya sejauh-jauhnya jarak yang dapat ditempuh oleh pasukan muslim ke arah musuh.
Dan sungguh, wasiat Abu Ayub Al Anshari telah dilaksanakan oleh Yazid bin Muawiyah. Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat makam sahabat Rasul yang mulia, Abu Ayub Al Anshari.
Hingga sebelum tempat itu dikuasai oleh orang-orang Islam, orang-orang Romawi penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub Al Anshari sebagai orang suci.
Sekalipun perang dan pertempuran sarat memenuhi hidupnya, namun corak kehidupan Abu Ayub Al Anshari adalah tenang tenteram laksana desiran bayu di kala fajar menjelma sebab di dalam hati Abu Ayub Al Anshari terpateri sabda Rasulullah saw, "Bila engkau shalat, maka shalatlah seolah-olah itu adalah shalat yang terakhir! Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata yang menyebabkan engkau harus meminta maaf! Lenyapkan harapan apa yang berada di tangan orang lain!"
Di Istanbul terdapat sebuah masjid besar, yaitu Masjid Abu Ayub Al Anshari.
Sumber: Rijal Haolar Rasul - Khalid M. Khalid

0 Responses

    Demi Masa

    Follow me

    Silahkan Komentar di sini